- BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Belakangan ini menjadi pembicaraan umum lantaran menghasilkan keputusan-keputusan yang dianggap memancing polemik.
Setelah secara resmi diangkat menjadi pemimpin utama Jawa Barat pada hari Kamis (20/2), Demul, nama panggilan dari Dedi Mulyadi, telah menerbitkan beberapa peraturan yang mendapat berbagai tanggapan, mulai dari dukungan hingga kritikan tajam.
Permulaan dari pembatasan perjalanan studi untuk siswa SMP/SMA, sampai pada penataan area Puncak Bogor yang diketahui menjadi sumber utama banjir di daerah Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek).
Kristian Widya Wicaksono dari Universitas Parahyangan (Unpar) di Bandung, seorang pengamat kebijakan publik, mengomentari bahwa Demul mempunyai gaya kepemimpinan otokratis yang berbeda dibandingkan dengan tipe tiran atau otoriter.
"Otokratis tersebut membuat keputusan tanpa melibatkan bawahan," ujar Kristian ketika diwawancara JPNN pada hari Senin, 17 Maret 2024.
Menurut dia, Demul Memilih untuk membuat keputusan secara mandiri tanpa berkonsultasi dengan bawahan akibat rasa percaya diri yang tinggi, sehingga dia yakin dapat menentukan segalanya tanpa perlu melibatkan orang lain.
"Pesanannya adalah karena individu tersebut memiliki rasa percaya diri yang kuat. Sebab ia merasa bahwa ilmu pengetahuannya serta informasinya telah cukup untuk melakukan pengambilan keputusan," jelas Kristian.
Di samping itu, gaya kepemimpinan Dedi yang sering kali turun langsung ke tengah masyarakat untuk meninjau masalah di lapangan memberinya kemampuan mengambil keputusan dengan cepat dan spontan.
"Dedi Mulyadi termasuk tipe orang yang aktif di tengah masyarakat; ia percaya bahwa informasi dan pengetahuannya yang diperoleh dari pengalaman langsung tersebut sudah mencukupi," jelasnya.
Kristian menyebutkan bahwa bila Demul tetap meneruskan pola kepemimpinan otoriter semacam itu, nantinya bisa menjadi masalah karena komunikasi di antara birokrat tidak akan berlangsung dengan baik. Hal ini disebabkan kurangnya pembentukan hubungan sejak dini. Akibatnya, kepala dinas serta pakar staf tidak akan merasa bertanggung jawab atas kondisi yang tengah terjadi.
"Yang pertama adalah perasaan kepemilikan terhadap keputusan yang telah diambil. Saya tidak turut serta dalam tanggung jawab atas keputusan tersebut karena memang diputuskan oleh atasan saya," jelasnya. "Saat dampak buruk muncul, mereka lebih condong untuk melepaskan diri. Ini berarti bahwa saya tidak bergabung dalam hal itu dan karenanya tidak ada lagi perasaan kepemilikan seperti sebelumnya," lanjutnya.
Kedua, ia melanjutkan, jika terjadi suatu permasalahan, karyawan diharapkan untuk menyelesaikannya sendiri meskipun sebelumnya mereka tidak diberi kesempatan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Menurutnya, ini adalah hal yang buruk karena menciptakan pola pikir bahwa 'karyawan baru tahu setelah masalah timbul,' yaitu pada saat ada kendala atau persoalan sudah muncul.
Selanjutnya, menurut dia, Demil dengan latar belakang sebagai seorang pemimpin berpengalaman mestinya memahami betapa krusialnya sistim birokrasi dalam pemerintahan. Kristian mengharapkan bahwa bekas bupati Purwakarta tersebut dapat mencakup peran aparatur sipil negara (ASN) lain dalam proses pengambilan keputusan selain dirinya sendiri.
"Selayaknya dia mengerti bahwa telah berkarir selama 10 tahun dalam bidang birokrasi. Ini berarti birokrat bukan sekadar mengeksekusi keputusan, tetapi juga perlu memiliki rasa bertanggung jawab atas segala konsekuensinya dari tiap tindakan atau putusan yang dibuat atasan," jelasnya. (mcr27/jpnn)