.CO.ID - JAKARTA. Beberapa ahli ekonomi mengemukakan pandangan bahwa walaupun defisit belanja negara pada tahun ini diproyeksikan akan bertambah karena pendapatan perpajakan yang kurang baik, pihak berwenang tetap mempunyai sejumlah alternatif untuk menyelesaikan ketercokolan itu, di antaranya dengan menerbitkan obligasi atau melakukan pinjaman dari luar negeri.
Namun, ahli ekonomi menyarankan supaya pemerintah bersikap hati-hati ketika merencanakan emisi surat utang dalam mata uang asing (SBN Valas). Ini penting dilakukan khususnya sementara tekanan pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berlangsung.
Kekurangan Anggaran Amerika Serikat pada Masa Oktober-Februari Menembus Rekor Sebesar US$ 1,147 Triliun
Risiko Penerbitan SBN Valas
Ekonom dari Universitas Paramadina Wiyanto Samirin mengkritisi bahwa rasio hutang pemerintahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kini mendekati 40%, dan Rasio Layanan Utang (Debt Service Ratio/ DSR)-nya telah melebihi batas 45%.
Dengan tingkat keamanan DSR yang disarankan sekitar 25% hingga 30%, hal ini mengindikasikan bahwa area untuk pengeluaran prioritas dalam bidang fiskal semakin menyempit.
"Kerajaan harus berhati-hati ketika meminjam dana. Mengeluarkan Surat Berharga Negara valuta asing malahan bisa membawa risiko di saat tekanan pada rupiah semakin meningkat. Meskipun penjualan barang ini mungkin menjadi hal yang mudah, namun pembayaran bunga serta angsuran pokoknya bakal menjadi beban," ungkap Wiyanto kepada , Minggu (16/3).
Ia menambahkan bahwa dalam situasi defisit yang melebar, pemerintah sebaiknya lebih mengutamakan pendanaan dari pinjaman luar negeri, seperti dari Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), atau melalui pinjaman bilateral.
"Pada situasi perekonomian dunia yang tak menentu, meminjam dari luar negeri lebih aman ketimbang menggunakan SBN valuta asing. Sebaiknya peluncuran SBN valuta asing hanya dilakukan untuk mengganti hutang yang sudah matang, bukannya untuk keperluan pembiayaan baru," ungkapnya dengan tegas.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Terwujud di Nilai Rp 23,45 Triliun Pada Akhir Januari 2025
Pilihan Penawaran Surat Berharga Negara berdenominasi Rupiah
Selanjutnya, Profesor Keuangan dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, mengemukakan pendapatnya bahwa apabila defisit Anggaran semakin membesar, Pemerintah lebih baik hanya menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi Rupiah.
"Bila tak diperlukan penambahan devisa atau campur tangan dalam mengatur nilai tukar rupiah di pasaran, pemerintah sebenarnya tidak harus menerbitkan Surat Berharga Negara berdenominasi mata uang asing," terangkan Budi.
Menurut dia, pihak berwenang besar kemungkinan baru akan mengeluarkan obligasi mata uang asing apabila sebetulnya diperlukan untuk tujuan khusus tertentu saja.
Berikut adalah perkembangan perihal utang sampai bulan Februari 2025; pemerintah sudah mengumpulkan dana senilai Rp 238,8 triliun lewat penjualan Surat Berharga Negara (SBN), angka tersebut setara dengan kira-kira 37% dari total sasaran penggalangan dana obligasi untuk seluruh tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 642,6 triliun.
Di sisi lain, pada tahun ini pemerintah juga harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun.
Penyerahan Dividen dari 7 BUMN Besar Ke danantara, Kekurangan Anggaran Negara Diprediksi Membesarkan
Pembayaran tersebut akan dijalankan menggunakan proses debt switch, yakni penukaran SBN jatuh tempo dengan surat berharga negara baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan memiliki masa tenggang lebih lama.
Proses ini mengizinkan pihak pemerintah untuk menyesuaikan angsuran hutang sesuai dengan keadaan pasar saat itu.