MengapaWarna Emas Menjadi Pusat Perhatian pada Illuminasi Mushaf?

Walaupun para ahli fikih menentangnya, pemberian warna emas pada hiasan mushaf tetap dilanjuti. Ini mencerminkan ekspresi kasih sayang seniman Muslim terhadap kemegahan al-Quran.

Awalnya, mushaf Al-Qur'an berupa naskah biasa. Setelah mendengar usulan Umar bin Khattab untuk segera mengkompilasikan dan menulis Al-Qur'an, penulis-penulis pertama lebih memprioritaskan keaslian serta ketepatan teks. Tidak ada dekorasi sama sekali, bahkan desain kaligrafinya cukup minimalis, tidak menggunakan titik atau apapun itu. harakat Kecemasan pokok mereka cukup lugas: pastikan dekorasi tidak mengganggu kekudusan kata-kata Tuhan.

Masa-masa selanjutnya, secara bertahap para penulis dan ahli kaligrafi menggabungkan elemen dekoratif atau iluminasi ke dalam tulisannya pada mushaf, terlebih saat mereka menerima instruksi serta dukungan finansial dari penguasa-penguasa tersebut. Secara bertahap, seni iluminasi mencari posisi tersendiri. Tidak hanya sebagai hiasan biasa, tetapi juga menjadi seperti "cahaya" yang memberikan kedalaman baru kepada mushaf.

Menghindari Visualisasi Makhluk Bernyawa

Bagaimana para seniman dapat menyajikan tema-tema untuk dekorasi dalam iluminasi mushaf? Sejak awal, kaligrafer biasanya menghindari gambaran makhluk hidup—baik manusia maupun binatang—karena takut terjerumus ke arah syirik atau penyembahan tuhan lain dari Allah. Akan tetapi, larangan tersebut justru mendorong kelahiran kreasi-kreasi yang lebih abstrak dan indah.

Menurut Martin Lings dalam Seni Tulisan Tangan dan Hiasan dalam Al-Quran , beberapa seniman Muslim setelah itu mengeksplorasi pesan-pesan dalam kitab suci mereka. Salah satu di antaranya tertuang dalam Surah Ibrahim ayat 24-25. yang  menggambarkan "kalimah thayyibah" menggunakan metafora pohon: mengakarkan diri dengan kuat, menyebar ke angkasa, dan senantiasa berbuah. Ini adalah simbol dari kehidupan yang abadi.

Dengan demikian muncullah pola floral berbentuk makhluk hidup yang disebut floramorfi. syujayrah (Pohon-pohon mini) ini menghidupkan esensi dari seni iluminasi. Pola pohon, bungan, serta dedaunan yang terus berkembangan tidak pernah mencapai ujung mewakili konsep tak terbatas atau ketakterhinggan itu sendiri. Pikirkanlah, tiap lembar dalam mushaf tersebut bertransformasi menjadi alam semesta tersendiri. Lurusan garis emas yang menyusun hiasan floral seperti ranting-ranting pohon hidup, menjalar dengan bebas. Penggunaan palmette dan arabisque secara harmonis menambah pesonanya pada dekorasi iluminasi mushaf tersebut.

Illuminasi halaman Mushaf Al-Qur'an Nusantara Khusus Sulawesi Selatan - (Lemka)

Menurut Lings, pola bunga dalam ilustrasi mushaf berlanjut dan tetap eksis sampai saat ini. kiwari, sesuai dengan pola kedaerahan tempat mushaf tersebut ditulis .

Dominasi Warna Emas

Di samping elemen desain floral, pemakaian warna emas—atau terkadang emas asli—sangat mencolok di dalam hiasan mushaf, mulai akhir abad kesembilan sampai saat ini. Berdasarkan naskhah yang tetap ada, disimpulkan bahwa aplikasi emas atau nuansa emas tersebut dipakai untuk pertama kalinya dalam kitab suci Al-Qur'an selama era kekuasaan Khalifah 'Abd al-Malik beserta anaknya, yaitu al-Walid I dari keluarga berkuasa Umaiyah.

Dalam periode tersebut, warna emas tidak hanya dijadikan dekorasi pada mushaf tetapi juga dipergunakan sebagai tinta untuk menulis teks kaligrafinya. Gaya kaligrafi yang diterapkan dalam naskah Al-Qur'an mencerminkan berbagai corak unik ini. Kufi bersudut yang masih sederhana.

Khalifah dengan generositas mereka mendukung penggarapan naskah Al-Quran berhias tinta emas yang mengesankan, lalu menyampaikannya serta menyerahkan kepada mesjid di seluruh pusat kota besar tersebut. Perbuatan ini, sebagaimana mestinya, dipersepsikan sebagai: Umberto Bongianino , Dosen bidang Seni dan Arsitektur Islam dari Universitas Oxford ingin mengungkapkan ke publik bahwa Alquran "versi istana" memiliki kualitas superior dibandingkan dengan versi Alquran yang tidak resmi dan sering terlihat dalam masyarakat. Sebelum teknologi pencetakan ditemukan, banyak orang Muslim waktu itu harus menulis ulang naskah suci mereka sendiri supaya dapat membacanya. Tentunya, selain penampilan teksnya yang cukup minimalis, ada potensi kesalahan ketik atau kesalahan tulisan lainnya.

Iluminasi pada Halaman Mushaf Al-Qur'an Nusantara Khusus Bali - (Lemka)

Berdasarkan pendapat Bongianino, selain sebagai simbol ketakwaan dan perhatian pemimpin kepada umat Islam, penggunaan emas dalam tulisan serta hiasan mushaf yang megah bertujuan untuk menandingi kitab Injil yang saat itu sudah didekorasi dengan berbagai ornament indah. Lebih lanjut lagi, beberapa artis yang dipanggil oleh istana merupakan mantan non-Muslim yang telah mahir dalam praktik skriptorium Bizantium maupun Syam.

Akibat kesan mendominasi dari warna emas pada penerangan mushaf, di beberapa daerah seperti Mesir, teknik hiasan ini dikenali sebagai fann at-tadzhib. Tadzhib seakar dengan kata dzahab, Yang mewakili emas. Penerapan warna emas dalam penerangan mushaf diterapkan secara luas di hampir semua daerah Muslim.

Lihat saja naskhah Al-Qur'an yang terbentuk selama periode Dinasti Mamluk (yang meliputi wilayah Mesir dan Suriah) di Abad Pertengahan. Di zaman tersebut, yang dipandang sebagai titik tertinggi kemajuan dalam seni hias naskhah Al-Quran sepanjang sejarah Islam, penggunaan warna emas mendominasi tepian, judul surah, serta dekorasi halaman-halamannya.

Illuminasi emas yang kompleks dan detil terlihat pula dalam naskhah salinan dari dinasti Safawiyyah di Iran (abad ke-16 hingga 17). Sementara itu, dekorasinya menggunakan emas berwarna pada mushaf Kesultanan Uthmaniyah. sangat sophisticated Pada mushaf dari masa Dinasti Mughal di India juga terdapat campuran gaya dekoratif Iran dan India. Tidak kurang menawan adalah hiasan berwarna emas pada iluminasi mushaf Andalusia, yang menggambarkan integrasi antara kebudayaan Islam dengan Eropa.

Di Indonesia, penerapan warna emas dalam mushaf amat umum, entah itu dari masa lalu berabad-abad yang lampau atau versi kontemporernya. Ambillah contoh seperti Mushaf La Lino di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. Pada mushaf tersebut yang berasal dari abad ke-19, warna emas begitu mendominasi dengan perpaduan warna lain seperti merah, hijau, biru serta kuning.

Iluminasi pada Halaman Mushaf Al-Qur'an Nusantara Khusus Sulawesi Tenggara - (Lemka)

Dalam versi kontemporer dari mushaf seperti Mushaf Istiqlal, Mushaf At-Tin, serta Mushaf Sundawi, penggunaan warna emas terlihat sangat mencolok. Terlebih lagi, Mushaf Sundawi yang diperkenalkan oleh Gubernur Jawa Barat pada waktu itu, R. Nuriani, telah menggunakanWarnanya. 1.500 gram emas Prada serta 1.000 gram bubuk emas murni. Mushaf Sundawi dilaunching oleh Nuriana tanggal 25 Januari 1997.

Dalam proses penulisan Mushaf Nusantara yang dilakukan secara bersama-sama oleh 365 kaligrafer dari Lembaga Kaligrafi Al-Qur'an (Lemka), berlangsung selama 10 jam pada tanggal 19 Maret kemarin, elemen warna emas menjadi dominan. Pada awalnya, Achmad Haldani, seorang spesialis iluminasi dan konsultan untuk proyek Mushaf Nusantara, menyarankan menggunakan hingga 45% pewarna emas guna mendukung slogan Indonesia Emas tahun 2045.

"Tetapi sebenarnya, warna emas lebih dominan dan mencapai di atas 60 persen," jelas Hilmi Munawar, yang merupakan ketua tim Illuminasi Mushaf Nusantara.

Memicu Reaksi Ulama Fikih

Didin Sirojuddin, Direktur Lemka dan juga pendiri Mushaf Nusantara, menyatakan bahwa "pembaharuan" (tadzhib) Pengunaan warna emas yang mendominasi dalam mushaf pun tidak lepas dari perselisihan yang cukup keras dan panjang. Ini terjadi saat para pakar hukum Islam turun gunung menjadi kritikus seni visual, melarang penggunaan warna emas di mushaf tersebut.

Malik bin Anas -- dari keluarganya lahir mazhab Maliki, contohnya, di abad kedelapan ia menentang hiasan halaman-halam buku suci dengan motif lukisan berwarna emas. Menurutnya, pantulan cahaya emas dapat "menggangu fokus pengguna ketika membacakan teks-teks sakral."

Iluminasi pada Halaman Mushaf Al-Qur'an Khusus DKI Jakarta - (Lemka)

Inilah alasan utama beberapa pakar agama masih menolak penerapan kaligrafi di dinding-dinding masjid maupun mushalla, termasuk ketika motifnya berasal dari teks-teks suci. Mereka memiliki kekhawatiran serupa yaitu hal tersebut mungkin akan merusak konsentrasi jemaah saat melakukan ibadah shalat.

Demikian pula, tidak sedikit orang yang mendukung kelompok seniman pembaruan al-Qur'an bergambar tersebut. Salah satu pendukungnya adalah Ibnu Khaldun, tokoh agama dan juga bapak sosiologi. Ia penulis dari karya utamanya berjudul Magnum Opus. Muqaddimah Itu mengatakan, "jika Al-Qur'an dipenuhi dengan kilauannya yang berwarna emas, maka menggunakan tinta emas dalam mencatat mushaf adalah kewajiban!"

Didin menyatakan setuju dengan pendapat Ibn Khaldun. Dia menyinggung tentang perintah Tuhan terhadap Nabi Musa untuk mencatat Taurat menggunakan pulpen berisi tinta emas. "Menurutku, kitab suci Taurat pastilah identik dengan kitab suci Al-Quran," ujar Didin tegas.

Setelah kritik dari para ulama fikih muncul, ternyata tradisi mendekorasi mushaf dengan sentuhan warna emas tetap terus berkembang, bahkan sampai mencapai titik paling gemilangnya beberapa abad setelahnya. Seniman-seniman ini tampaknya memilih untuk tidak memedulikan ketidaksetujuan sebagian ulama tersebut sambil menyatakan bahwa menggunakan warna emas malah menjadi cara mereka untuk menunjukkan rasa hormat pada keagungan kitab suci Allah. Hal ini mirip dengan apa yang telah disampaikan. Dalam karyanya, Martin Lings menyatakan bahwa emas merupakan lambang keagungan spiritual yang melebihi alam fisik.

Begitulah, seperti kata asalnya, "illuminate" Para iluminator bukan hanya mendekorasi, tetapi mereka juga "menyinari" mushaf tersebut. Setiap garisan dan setiap warna yang mereka lukiskan merupakan ekspresi dari penghargaan terbesar kepada kitab suci itu. Sementara pelukisan dengan emas menjadi simbol tertingginya dalam menunjukkan kagumannya kepada Sang Pencipta Yang Maha Agung.

Kecantikan visual mampu membawa kedalaman rohani.

Lebih baru Lebih lama