Para Budiman dan Budimin, waktu berbuka bersama sering kali dinantikan dengan penuh antusiasme saat bulan Ramadhan tiba. Untuk membuat acara tersebut menjadi lebih bernilai makna, umumnya kami merancang tema atau konsep secara khusus agar tampak luar biasa.
Umumnya, bukber berkaitan erat dengan berbuka bersama teman-teman dekat, para alumni dari sekolah atau universitas, kolega kerja, atau bisa juga pertemuan tidak terduga seperti jumpa mantan. Ehem.
Tetapi ada satu momen bukber yang akan tetap saya ingat dan rindui sepanjang hayat, acara bukber yang tampaknya biasa-biasa saja tapi rasanya tidak bisa direplikasi lagi, yakni saat membukakan puasa di rumah, berbuka bersama dengan anggota keluarga yang komplit.
Tiga tahun silam, rumah tampaknya belum spesial dan hanya biasa-biasa saja, tetapi semuanya masih sempurna karena seluruh anggota keluarga berkumpul dalam satu atap. Walaupun keadaan sedang mengikuti gaya hidup baru usai masa pandeminya corona virus disease 2019 atau dikenal juga sebagai Covid-19, kita mampu melaksanakan ibadah puasa tanpa banyak hiruk pikuk.
Pak lansia tersebut biasanya nonton TV di kamarnya sambil memegang catatan kecil untuk mencatat jadwal pertandingan sepak bola. Sementara itu, Ibu sibuk merencanakan menu sahur dan buka puasa tiap hari, didampingi oleh kakak perempuan tertua kami yang walau telah memiliki keluarga sendiri tetap meluangkan waktu untuk berbuka bersama kedua orang tuaku.
Setelah itu, masih tersisa kakak tertua saya yang sangat pendiam dan jarang meninggalkan kamarnya kecuali saat makan. Di samping itu, ada juga adik saya yang pada masa tersebut kerap bertengkar dengan saya akibat perselisihan dalam pembagian buka puasa.
Kebisingan di rumah saat azan Maghrib berkumandang pada waktu itu tidak memiliki sesuatu yang spesial. Biasa saja, tanpa ada hal istimewa. Namun satu tahun kemudian, setelah peristiwa tersebut, kakak kedua saya melangsungkan perkawinan dan pindah ke tempat lain bersama suami baruannya.
Saat itu juga, dua bulan setelah Ramadhan, keluarga kita disuguhkan dengan sebuah peristiwa di mana detik tampaknya melambat dan hari tersebut menjadi hari tersingkat dalam hidup kita. Ini adalah momen yang sangat menantang bagi seluruh anggota keluarga karena ayah kita dipanggil pulang kepada Tuhan satu minggu sebelum Hari Raya Idul Adha.
Perasaannya sulit diungkapkan tetapi harus menerima dengan ikhlas.
Setelah tahun tersebut, bulan Ramadhan terasa hampa. Waktu yang umumnya tidak begitu luar biasa jadi moment yang sangat ditunggu dengan sesak hati karena disayangkan sekali bahwa hal ini tidak bisa lagi direpeat.
Dan pada tahun ini pun, selama Ramadhan, 2025 rumah tampak semakin sunyi dibanding biasanya. Saat buka puasa hanya dirasakan oleh saya dan ibu saja. Terkadang kakak sulungku sempat datang untuk bergabung dalam acara buka puasa di rumah kami, namun hal itu tak pernah dilakukan oleh adikku. Dia telah mempersiapkan dirinya untuk mengikutsertakan diri dalam program #kaburajadulu yang artinya dia harus menjalani masa karantina agar dapat siap berangkat bulan berikutnya.
Saya pun secara tak terelakkan perlu mengatur jadwal kosong di rumah agar bisa mendampingi Ibu, sehingga saat sahur maupun buka puasa tetap menjadi moment yang spesial.
Tepat sesuai dengan yang disebutkan dalam QS. al-Ashr (ayat 1-3), manusia cenderung merasa rugi apabila gagal mengapresiasi waktunya. Karena itu, bersyukur atas tiap detik karunia menjadi suatu kebutuhan karena waktu tak bisa diputar ulang lagi.
Oleh karena itu, sahabat-sahabatku, hargai setiap detik waktu yang telah kita lalui, ucapkan syukur atas setiap momen yang muncul dalam perjalanannya, bahkan jika saat itu tampak biasa saja. Tidak ada jaminan bahwa situasi tersebut akan berulang di hari depan; nantinya, momen-momen itulah yang akan diperingati dan dirindukan dengan penuh kesedihan.