Istilah Dwifungsi ABRI begitu populer di masa Orde Baru.
Maksud dari Dwifungsi ABRI adalah ABRI memiliki fungsi ganda, yakni sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, juga sebagai kekuatan sosial dan politik.
Pada masa Orde Baru, ABRI, yang di dalamnya terdapat unsur militer dan kepolisian, terlibat jauh dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.
Mereka tidak hanya menduduki jabatan-jabatan sipil, tetapi juga mengambil langkah yang diperlukan untuk kepentingan kelanggengan rezim Soeharto.
Implementasi dwifungsi ABRI yang malah menghalangi pembentukan iklim demokratis yang kondusif untuk bangsa Indonesia, secara bertahap ditiadakan sejalan dengan awal era Reformasi.
Jika kita menyelami sejarahnya lebih dalam, konsep Dwifungsi ABRI sesungguhnya telah muncul jauh sebelum awal periode Orde Baru.
Maka, siapakah yang mencetuskan ide tentang dwifungsi ABRI?
AH Nasution, Sang Pendiri Konsep Dwifungsi ABRI
Pencetus Dwifungsi ABRI adalah AH Nasution.
Terbentuknya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diawali dari lahirnya Badan Kemanan Rakyat (BKR) pada 1945.
Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, militer fokus dengan tugas dan fungsinya untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Keterlibatan militer dalam persoalan sosial dan politik dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya ketika berlaku sistem Demokrasi Terpimpin.
Awalnya, Presiden Soekarno enggan jika angkatan bersenjata terlibat dalam urusan politik.
Namun, karena tidak tercapainya kemufakatan ketika menentukan kebijakan, yang kemudian menyebabkan kekacauan, Presiden Soekarno setuju untuk memasukkan militer dalam dunia politik.
Artinya, kedatangan militer dalam arena perpolitikan dipicu oleh ketidakmampuan sistem politik Indonesia karena adanya partai-partai yang tak berfungsi dengan baik.
Konsep Dwifungsi ABRI yang dikembangkan oleh AH Nasution setelahnya disetujui oleh Presiden Soekarno, dengan tujuan mencampur tangan angkatan bersenjata dalam ranah politik untuk mengantisipasi dan memperkuat stabilitas kondisi pada masa tersebut.
Konsep Dwifungsi ABRI dimulai dari ide AH Nasution mengenai "Jalan Tengah", inspirasi ini berasal dari pemikiran seorang jenderal Perang dari Prusia bernama Karl von Clausewitz.
Karl von Clausewitz, seorang pakar dalam bidang strategi militer, menautkan konsep perang dengan berbagai dimensi kehidupan lainnya termasuk ekonomi, sosial, dan politik.
Clausewitz berpendapat bahwa perang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindakan politik dengan metode alternatif, bukannya hanya sebatas kegiatan militer.
Politik dan militer mirip dengan dua sisi sebuah koin yang saling menguntungkan.
Berangkat dari pemikiran Clausewitz itulah, AH Nasution membuat gambaran terkait hubungan antara sipil dan militer, yang harus melakukan kerja sama yang selaras dan harmonis.
Militer memiliki hak untuk mengakses informasi serta dilibatkan saat pembuatan dan pengambilan keputusan terkait kebijakan politik pemerintahan.
Saat sebuah negeri menerapkan keputusan, diperlukan masukan dari ABRI sebagai badan pengayom keselamatan negara.
Sebab itu, apabila terdapat gangguan dalam stabilitas politik atau pun terjadinya keresahan masyarakat, ABRI sebagai elemen dari kekuatan Hankam akan menjadi tanggungan utama dampaknya.
Di samping itu, AH Nasution menyatakan bahwa ABRI seharusnya memiliki hak untuk diperkenalkan ke dalam institusi pemerintahan, entah itu yang berkaitan dengan bidang eksekutif atau legislatif.
Tentara juga bermaksud agar partisipasinya diakui sepenuhnya dalam kabinet serta Dewan Nasional, sehingga semua badan pemerintah dan rakyat menyadari bahwa Tentara memegang peranan vital dalam proses pembuatan keputusan politik nasional.
Meskipun begitu, militer pun wajib mengekang peranannya sehingga masih sesuai dengan batasan otonomi yang sudah ditentukan dan berupaya mencegah dirinya digunakan oleh pihak manapun, terutama elit politik guna menjadi instrumen dalam meraih keuntungan kelompok.
Konsep Jalan Tengah AH Nasution diharapkan menjadi pedoman bagi tentara untuk tidak menguasai perpolitikan negara, tetapi hanya turut berperan dalam pengambilan kebijakan untuk menentukan nasib negara.
AH Nasution menyampaikan ide Jalan Tengah, yang merupakan asal-usul dari Dwifungsi ABRI, saat peringatan ulang tahun AMN (Akademi Militer Nasional) pada tanggal 11 November 1958, di kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Ide Jalur Tengah mengartikan bahwa ABRI tidak hanya terlibat di ranah militer-hankam, melainkan juga sektor sosial-politik karena kedua aspek tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Satu pekan usai AH Nasution berpidato, Dewan Nasional mengadakan rapatnya.
Sidang yang diselenggarakan dari tanggal 19 sampai 21 November 1958 tersebut menyinggung tentang kelompok fungsional di lingkungan pemerintah Indonesia.
Klasifikasi fungsi ini menjelaskan tentang tempat TNI AD dalam kehidupan politik di Indonesia.
Kemudian, konsep Jalan Tengah milik Nasution diperkuat oleh munculnya doktrin pertempuran dari TNI AD Tri Ubaya Cakti. Doktrin ini adalah produk dari seminar Angkatan Darat-I yang berlangsung tanggal 2 September 1965.
Doktrin ini dipertegas lagi pada seminar Angkatan Darat-II di Bandung, pada 25-30 Agustus 1966.
Dengan doktrin ini, pertama kali didefinisikan Dwifungsi ABRI, yaitu sebuah konsep yang memberi persetujuan terhadap peran militer di bidang-bidang bukan militer.
Namun, tujuan awal dari konsep dwifungsi ala Nasution, yakni militer tidak mendominasi di segala aspek pemerintahan, pada masa Orde Baru justru diperluas sehingga militer mendominasi segala aspek pemerintahan.
Meski demikian, dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru menjamin militer tetap memiliki peranan penting dalam menjalankan serta merencanakan kontrol atas kebijakan pemerintah nasional.
Referensi:
- Anwar. (2018). Dua Peran TNI AD: Mengikuti Jejak Partisipasi TNI AD dalam Bidang SosialPolitik dan Ekonomi di Indonesia. ADABIYA , 20 (1): 23-46.
- Sofuan, Tazkia Kamila. (2023). Meneliti Riwayat Pelaksanaan Dwifungsi ABRI di Zaman Orde Baru. Kalpataru , 9 (2): 162-170.